Sunday, September 21, 2008

BELAJAR UNTUK MEMA'AFKAN

Kebetulan saat ini kita tengah berada pada bulan Ramadhan, masa menjalankan ibadah berpuasa bagi umat Islam dan bulan di mana segala ma'af terbuka lebar...
Dari pengamatan, dalam kebanyakan budaya kita, masa ini senantiasa diiringi dengan acara saling memafkan, baik sebelum mulai menjalani puasa maupun pada saat Lebaran nanti.
Meski demikian, apa benar hanya pada masa-masa ini saja kita bisa mema'afkan? Bukankah sesungguhnya dalam hidup sehari-hari kita juga sering terlibat dengan tingkahlaku yang satu ini?


Arti ma'af
Dari jawaban umum, kita bisa mengartikan mema'afkan sebagai mengampuni kesalahan, tidak mendendam, memberi remisi, atau pembebasan.
Secara psikologis, mema'afkan merupakan proses menurunnya motivasi membalas dendam dan menghindari interaksi dengan orang yang telah menyakiti sehingga cenderung mencegah seseorang berespon destruktif dan mendorongnya bertingkahlaku konstruktif dalam hubungan sosial (Caullough, worthington, Rachal, 1997).
Banyak kejadian menyakitkan hati, misalnya dicaci, dibohongi, ditipu, dikhianati, dll yang membuat kita seringkali sulit memberi ma'af. Mengapa?

Fiksi
Menurut Janis Spring (1996), ada 5 (lima) anggapan keliru tentang mema'afkan yang mungkin membuat kita berhenti belajar melakukannya.

  1. Pema'afan terjadi secara total dan sekaligus.
  2. Ketika mema'afkan, perasaan negatif terhadap orang lain berganti menjadi perasaan positif
  3. Ketika mema'afkan seseorang, kita mengakui perasaan negatif kita padanya adalah salah atau tak dapat dibenarkan.
  4. Bila mema'afkan, kita tidak akan mendapat imbalan apapun.
  5. Bila mema'afkan seseorang, kita melupakan luka hati kita.

Dengan mempercayai fiksi-fiksi tersebut, maka sepertinya tingkahlaku mema'afkan jauh untuk bisa kita jangkau dan membuat kita jadi berpikir hanya orang suci atau nabi-lah yang dapat melakukannya karena harus dilakukan tanpa syarat, secara total dan dengan cara mengorbankan diri pribadi.

Fakta
Padahal menurut Spring, ahli psikologi klinis dari Yale University, AS, mema'afkan bukanlah tindakan yang bersih murni dan tidak mementingkan diri sendiri. Mema'afkan adalah bagian dari proses yang dimulai ketika kita berbagi rasa sakit hati setelah peristiwa menyakitkan berakhir dan akan berkembang begitu kita punya pengalaman mengoreksi diri, yang membangun kembali rasa percaya dan keakraban terhadap orang lain.
Untuk memperbaiki dugaan keliru tadi, kita perlu melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada kita sebagai manusia biasa agar dapat lebih mudah belajar mema'afkan kesalahan.

Fakta 1
Proses mema'afkan selalu berlangsung perlahan dan berlanjut sepanjang hubungan kita dengan orang tersebut. Mungkin saat ini kita hanya dapat mema'afkan kesalahan seseorang sebanyak 10 persen, dan begitu kita membina hubungan kembali kita mungkin dapat menambah dengan 70 persen, tetapi tak pernah lebih banyak lagi.
Hal di atas sah2 saja. Kita tak perlu menjadi orang baik bila kita mema'afkan secara total, kita juga tak perlu menjadi jahat bila tak bisa melakukannya. Kita hanya dapat memberi apa yang mampu kita berikan dan apa yang orang lain peroleh.
Fakta 2
Beberapa orang mungkin bertahan untuk mema'afkan karena melihatnya sebagai 'penghentian permusuhan/dendam', suatu kondisi di mana kepahitan lenyap digantikan rasa cinta dan kasih. Padahal sebenarnya tak ada orang yang mampu mencapai kondisi seperti itu.
Dalam hidup, luka psikis tak pernah sepenuhnya sembuh atau menghilang, ataupun secara ajaib digantikan hal positif lain. Yang benar, seperti halnya cinta yang matang, mema'afkan membolehkan adanya pertimbangan serempak antara perasaan yang bertentangan, gabungan dari rasa benci dan cinta.
Bila kita mema'afkan, kebencian kita tetap ada, tetapi diimbangi dengan kenyataan orang yang menyakiti tidaklah begitu buruk ataupun kita yang telah sangat naif.
Fakta 3
Sebenarnya, dengan mema'afkan bukan berarti kita mengingkari kesalahan pelaku atau ketidakadilan yang telah terjadi, tetapi hanya membebaskannya dari ganti rugi (retribusi).
Fakta 4
Beberapa orang tak mau mema'afkan karena berpikir, 'Mengapa saya harus membebaskan seseorang dari kewajiban memperbaiki kesalahannya?'
Padahal, dengan mema'afkan tidak berarti kita lemah atau harus membuat orang lain jadi tidak bertanggungjawab. Bila tujuan kita berkonsiliasi, mema'afkan memerlukan penebusan dari pelaku. Pema'afan yang sesungguhnya tak bisa diberikan sampai pelaku membayarkan melalui pengakuan, penyesalan, dan penebusan.
Fakta 5
Yang benar, bagaimanapun orang yang disakiti tak pernah akan lupa seperti apa kita telah diperdaya atau dikhianati, apakah kita mema'afkan atau tidak. Setelah bertahun-tahun berlalu, kita akan tetap bisa mengingatnya, tetapi hanya sebagai bagian dari suatu gambaran/potret yang juga melibatkan masa-masa kebersamaan lain yang lebih positif dengan pelaku.


(disarikan dari artikel psikologi yang ditulis oleh Agustine Dwiputri, psikolog dalam forum konsultasi Kompas Minggu, 21 September 2008)

No comments: