Tuesday, July 29, 2008

ARTIKEL LEPAS

Pascapengkhianatan, maukah kita memaafkan? Artikel di tulis oleh Ester Lianawati Psi, Staf pengajar Fakultas Psikologi Ukrida di Suara Pembaruan, Kamis 5 Juli 2007. (tulisan ini sangat menarik oleh karenanya perlu dipost di blog)

Ketika memulai suatu hubungan, umumnya tidak seorangpun terpikir hubungan mereka akan berakhir tidak bahagia. Hal ini dikarenakan sebuah hubungan biasanya terjalin atas rasa saling percaya. Percaya bahwa masing-masing adalah pasangan yang tepat satu sama lain. Percaya bahwa keduanya dapat saling mencintai dan setia selamanya.

Namun kehidupan tidak selalu semulus yang kita inginkan. Cinta tidak senantiasa terus menyala dalam perjalanan suatu hubungan. Pada saat itulah kesetiaan akan menjadi senjata yang paling dibutuhkan untuk tetap menjaga eksistensi sebuah hubungan. Sayangnya meskipun hubungan cinta dan kesetiaan tidak selalu bersifat linear, namun kesetiaan cenderung goyah ketika api cinta itu meredup. Dan saat seseorang tidak lagi setia, bukan hanya hubungan itu sendiri yang ternoda. Lebih jauh dari itu, rasa percaya yang merupakan pondasi hubungan itu kini telah dikhianati.

Saat pengkhianatan terungkap, kita akan dihadapkan pada dua pilihan. Membangun kembali kepercayaan itu dengan melanjutkan hubungan atau memilih untuk mengakhiri hubungan.

Jika diajukan pilihan tersebut, kita cenderung memilih untuk mengakhiri hubungan itu. Bila kita dihadapkan langsung pada situasi tersebut, proses pengambilan keputusan untuk mengakhiri suatu hubungan tidak sesederhana yang diduga.

Cinta yang mungkin masih ada akan menjadi faktor pendorong utama bagi pasangan yang dikhianati untuk memilih melanjutkan hubungan . Selain itu, bagi sebagian orang, ada yang terpaksa melanjutkan hubungan karena berbagai aspek struktural. Misalnya mempertimbangkan nama baik, status, kondisi finansial, dan anak-anak. Namun apapun faktor yang yang mendasari, keputusan apapun yang dipilih, ada satu hal yang harus dilakukan saat kita dikhianati. Yakni kita harus belajar memaafkan untuk dapat melanjutkan kehidupan pascapengkhianatan dengan lebih baik.

Guncangan

Memaafkan sebuah pengkhianatan tentu bukan hal yang mudah. Pengkhianatan mungkin merupakan hal yang paling menyakitkan dalam sebuah hubungan. Seburuk apapun relasi dengan pasangan, mengetahui bahwa pasangan telah berkhianat tetap akan mengguncang perasaan seseorang. Rasa terguncang ini umumnya mendominasi di awal pengkhianatan itu terbongkar. Keterguncangan akan semakin terasa bila hubungan dengan pasangan sebelumnya baik-baik saja, atau setidaknya itulah yang dipersepsikan pihak yang dikhianati. Berbagai pertanyaan akan muncul seraya tidak mempercayai peristiwa pahit tersebut.

Pihak yang dikhianati cenderung tidak habis pikir bila selama ini ia merasa bahagia dengan hubungan mereka, bagaimana mungkin pasangannya justru mencari kepuasan dari orang lain. Rasa tidak percaya akan terus mendera, mempertanyakan bagaimana mungkin orang yang dikagumi dan disayangi dapat melakukan hal semacam itu terhadapnya. Apalagi bila selama ini pasangan tampil sebagai sosok yang baik, setia, dan bertanggungjawab. Rasa tidak percaya ini akan membuatnya terus menyangkal bahwa memang pengkhianatanitu telah terjadi.

Rasa terluka akan hadir kemudian seiring dengan mulai munculnya penerimaan bahwa pengkhianatan itu memang terjadi. Secara otomatis, pihak yang dikhianati akan merangkaikan jalinan peristiwa dalam benaknya. Ia mulai mereka-reka bahwa pada hari dan tanggal sekian saat pasangan mengatakan sibuk sebenarnya ia sedang pergi dengan orang lain. Saat pasangan mengaku dinas ke luar kota, ternyata ia sedang bersama orang lain. Atau pasangan meminta pengeluaran dihemat ternyata ia malah membelikan hadiah untuk orang lain. Demikian seterusnya, pemikiran-pemikiran semacam ini sulit dihentikan dan semakin melukai perasaan pihak yang dikhianati.

Pengkhianatan juga menyerang harga diri (self-esteem) seseorang. Hal ini dikarenakan pengkhianatan mendorong orang melakukan perbandingan sosial (social comparison) dengan pihak ketiga. Pernbandingan sosial yang dilakukan pihak yang dikhianati cenderung bersifat ke atas (upward), yaitu merasa bahwa pihak ketiga jauh lebih baik dibandingkan dirinya. Pihak yang dikhianati cenderung merasa tidak semenarik ataupun sesukses pihak ketiga. Perbandingan semacam ini akan menjatuhkan harga diri seketika.

Perasaan terguncang, terluka, kecewa, dan rendah diri adalah emosi-emosi negative yang lebih ditujukan ke dalam diri (inward). Di samping emosi yang bersifat inward tersebut, pihak yang dikhianati juga akan merasakan outward emotion, yakni emosi yang ditujukan ke luar diri, terhadap pasangan yang mengkhianati. Emosi ini dapat berupa rasa marah, yang terutama muncul jika pengkhianatan itu diketahui dari orang lain dan awalnya pasangan tidak mengakuinya. Selain itu, yang juga sering muncul adalah kehilangan respek dan rasa jijik terutama bila pengkhianatan pasangan telah melibatkan aktivitas seksual. Rasa jijik ini9 menurut Frank Pittman, seorang terapis keluarga, juga cenderung muncul bila mengetahui bahwa pasangan gemar berselingkuh dengan banyak orang, atau yang disebut dengan philandering. Dan emosi negative yang paling membahayakan hubungan adalah hilangnya rasa kepercayaan kepada pasangan.

Memaafkan

Sedemikian menyakitkannya sebuah pengkhianatan, namun kita tetap perlu memaafkan pasangan yang telah berkhianat. Tentu kita tidak dapat membenarkan perbuatannya, namun kita dapat menerima kesalahannya. Sebagaimana yang ditulis W Somerset Maughham, dalam novelnya The Painted Veil yang bertutur tentang perselingkuhan, bahwa manusia tidak dapat diprediksikan, ia dapat berbuat salah dan mengecewakan orang lain. Selain itu, kita perlu menghargai pasangan yang mau meminta maaf. Karena meminta maaf bukanlah suatu hal yang mudah, sampai sebuah peribahasa menyatakan orang yang meminta maaf adalah seorang pahlawan.

Bahkan meskipun pasangan tidak meminta maaf dan lebih memilih bersama pihak ketiga, kita tetap perlu memaafkannya. Karena memaafkan yang sesungguhnya berarti berdamai dengan diri sendiri. Tindakan memaafkan pada dasarnya merupakan tindakan internal, bukan eksternal. Memaafkan lebih terkait dengan diri sendiri, bukan orang lain. Ketika memaafkan, maka kita sebagai si pemaaf juga akan ‘tersembuhkan’. Memaafkan dapat memberi kelegaan karena kita tidak lagi berfokus pada hal-hal negative. Berpikir negative membutuhkan energi psikologis yang besar, yang dapat membuat kita lelah mental dan sulit melakukan hal positif lainnya. Hanya dengan memaafkan, kita dapat melangkah ke depan dengan lebih baik, bahkan sekalipun tidak lagi melanjutkan hubungan dengan orang yang sama.

Namun dengan luka-luka pengkhianatan yang begitu perih, wajar jika kita meragukan kemampuan kita untuk dapat memaafkan. Apalagi jika kita memilih untuk tetap melanjutkan hubungan dengan orang yang jelas telah menyakiti kita. Karena melanjutkan kembali hubungan pascapengkhianatan tidak sekedar membutuhkan maaf, melainkan juga upaya membangun kembali kepercayaan terhadap pasangan. Dalam kondisi kita tetap bersamanya, memaafkan akan menjadi proses yang harus diupayakan bersama.

Pasangan yang berkhianat harus terlebih dahulu menerima bahwa pengkhianatan yang dilakukan adalah sepenuhnya kesalahannya. Dengan dimilikinya rasa tanggungjawab personal seperti ini akan membantunya untuk tidak lagi mengulangi kesalahanyang sama. Selama pihak yang berkhianat masih membuat excuse atas pengkhianatannya, proses memaafkan tidak dapat dimulai. Selain itu, pihak yang berkhianat juga harus menyadari bahwa hati pasangannya telah terluka. Akan ada saat-saat di mana pasangan teringat akan pengkhianatan tersebut, dan ingatan itu akan memunculkan kembali amarah dan emosi negative lainnya. Saat-saat seperti itulah, pihak yang berkhianat harus dapat dengan rendah hati menerimanya sebagai bagian dari proses penyembuhan.

Di sisi lain, pihak yang dikhianati harus benar-benar berkeinginan untuk memaafkan, berarti juga melupakan kesalahan pasangan. Kita harus menganggapnya sebagai manusia baru, yang bersih dari noda pengkhianatan. Memaafkan berate tidak lagi mengungkit kesalahan pasangan. Terus mengingatkan pasangan pada kesalahannya bukanlah suatu hal yang bijaksana, karena dapat membuatnya merasa tidak mampu memperbaiki dirinya. Kesalahan yang pernah dilakukan pasangan bukanlah suatu excuse agar kita dapat terus memakinya. Berhentilah menghukum pasangan dan memandangnya rendah sesakit apapun perasaan kita.

Dalam proses memaafkan ini, akan jauh lebih baik jika masing-masing pihak melakukan introspeksi diri. Kedua pasangan perlu belajar menemukan kebutuhan masing-masing pihak yang selama ini mungkin tidak terpenuhi. Terbuka satu sama lain, termasuk ketika mulai tertarik dengan orang lain juga merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan yang sama. Untuk dapat melakukannya, pasangan perlu menyadari bahwa rasa ketertarikan dengan orang lain akan sangat mungkin muncul mengingat pasanga kita bukanlah manusia sempurna yang memiliki segalanya. Namun rasa itu dapat dicegah untuk berkembang lebih jauh asalkan masing-masing pihak dapat bersikap dewasa untuk membicarakannya.

Memaafkan memang tidak mudah, namun juga tidak sesulit yang kita duga. Sebuah nasehat bijak dari Korea menyatakan ketika kita merasa sulit memaafkan, kita dapat memulainya dengan memberi kebencian sedikit ruang pada hati kita. Pengkhianatan mungkin dapat menjadi sinyal berakhirnya sebuah hubungan. Namun pengkhianatan dapat pula menjadi katalis untuk pertumbuhan yang positif dalam kehidupan pasangan tersebut selanjutnya. Semua bergantung pada kita, maukah kita memaafkan?

2 comments:

memo said...

artikelnya bagus banget...meluaskan pikiran dan hati.

Finding Neverland said...

Bunda Iing,
mksh ya dah posting artikel sy. salam kenal ya :)
ester.